REVIEW : THE CONJURING
"There's a lady in a dirty nightgown that I see in my dreams. She's standing in front of my mom's bed." - Cindy
Setidaknya selama satu pekan terakhir, film teranyar dari James Wan, The Conjuring, tak henti-hentinya disebut oleh berbagai rekan saya di jejaring sosial. Berbagai ulasan positif menyertai, bahkan beberapa berani menyebutnya sebagai ‘film horor paling menyeramkan yang pernah ditontonnya’. Benarkah itu? Well... tentunya tergantung preferensi beserta sudut pandang masing-masing individu. Setelah saya menyaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa hari silam, saya kudu mengacungkan dua jempol kepada Wan dalam upayanya menakuti-nakuti penonton yang terbilang berhasil. Memang saya tak akan menyebut ini sebagai film terseram yang pernah dibuat oleh Hollywood (ada yang lebih membuat saya tidak bisa tidur nyenyak di malam hari), namun jelas ini adalah salah satu yang paling mencekam khususnya di beberapa tahun terakhir. The Conjuring sanggup membuat saya tidak bisa duduk nyaman selama 112 menit di dalam bioskop lantaran terlalu sibuk untuk terlonjak, berteriak, dan kemudian tertawa. Benar-benar sebuah suguhan yang mengganggu, memberi perasaan tidak mengenakkan, dan (tentunya) menegangkan.
Jalinan pengisahan dari film menjumput peristiwa nyata yang dialami oleh pasangan Warren, Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine (Vera Farmiga), kala tengah menyelidiki sebuah aktivitas supranatural yang menimpa keluarga Perron pada tahun 1971. Mereka mendapat panggilan dari Carolyn Perron (Lily Taylor), seorang ibu rumah tangga dengan lima putri, yang merasakan adanya kejanggalan dengan rumah yang baru dihuninya di Rhode Island. Demi memupuk rasa peduli penonton terhadap setiap tokoh yang hadir dalam film, maka paruh awal pun dimanfaatkan sebagai momen perkenalan – termasuk dengan ‘si pengganggu’. Duo Chad Hayes dan Carey Hayes yang ditugasi untuk mengolah skrip, tak melulu berkutat pada teror tiada akhir yang didera oleh keluarga Perron dalam menghantarkan kisah. Mereka pun turut menyoroti pasangan Warren, baik dalam kaitannya dengan hubungan profesionalisme sebagai tim ‘pemburu hantu’ maupun yang bersinggungan dengan percintaan (dalam hal ini, suami istri). Tatkala kepedulian penonton sukses terbangun, maka perkara mudah bagi si pembuat film untuk mempermainkan emosi penonton.
Sejatinya, The Conjuring bukanlah film dengan ide paling orisinal yang pernah ada. Apa yang ditawarkan bukan sesuatu yang benar-benar baru dan berbeda dari film tentang rumah hantu maupun pengusiran setan lainnya. Ini tak berbeda jauh dengan The Exorcist, The Amityville Horror, Poltergeist, atau film Wan sebelumnya, Insidious. Deretan teror yang dihadapi pun masih sama, menghadirkan suara-suara misterius, ruangan-ruangan gelap nan sunyi dan sesekali penampakan dari si jurig. Apabila jatuh di tangan orang yang salah, ini akan berpotensi menjadi sesuatu yang klise, menjengkelkan, dan (bisa jadi) menjemukan. Akan tetapi, bagusnya, The Conjuring tak lantas terjerembab ke dalam kubangan klise nan monoton. Kudu diakui, Wan adalah salah satu sutradara film memedi terbaik untuk generasi milenium ini. Dalam penangannya dia mampu membuat tuturan kisah yang cenderung formulaik ini menjadi sesuatu yang tetap memikat sekaligus menggedor jantung. Ketimbang menggeber sound yang memekakkan telinga untuk memberi efek kejut, si pembuat film justru memilih untuk membangun rasa ngeri melalui kesunyian. Membuat Anda diselimuti kegelisahan dengan nafas tertahan mencoba untuk menebak-nebak dari mana si jurig akan 'bercilukba' dengan Anda.
Suasana yang dihadirkan jelas jauh dari kata menyenangkan; creepy, menghantui, dan mengganggu. Wan pun membangun ketegangan dengan merangkak secara perlahan-lahan sehingga memungkinkan dalam menciptakan efek ‘serangan panik’ kepada sejumlah penonton berhati lemah. Kecerdasan Wan untuk menghadirkan atmosfir yang senantiasa menggelisahkan ini turut terbantu oleh skoring musik dari Joseph Bishara yang membuat bulu kuduk berdiri, sinematografi dari John R. Leonetti yang sanggup memunculkan nuansa seram, serta jajaran pemain yang berakting dengan menawan; khususnya duo Patrick Wilson – Vera Farmiga dan Lily Taylor. Setiap komponen yang mampu menyatu dengan cemerlang inilah yang menjadikan The Conjuring bukan sekadar film horor kreasi Hollywood yang biasa-biasa saja (meski juga tidak lantas menjadi spektakuler). Hype yang hadir menyertai selama beberapa hari terakhir ini boleh jadi agak sedikit berlebihan, akan tetapi – sekalipun demikian – saya tak bisa menyangkal bahwa The Conjuring memang salah satu film seram terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Gaya tuturnya yang sedikit banyak mengingatkan film horor produksi tahun 1970'an membuatnya unik. Anda yang menggemari tontonan sejenis, kemungkinan besar akan terpuaskan dan menyaksikannya hanya sekali terasa kurang.
NB : Seorang teman yang mempunyai kemampuan ‘melihat’ mengatakan, “selalu ada 'sesuatu' yang menemanimu dalam setiap pertunjukkan The Conjuring.” Hiyyyy... seram! Masihkah Anda berani untuk menyaksikan film ini di bioskop.... sendirian?
Exceeds Expectations
Post a Comment for "REVIEW : THE CONJURING"