Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

REVIEW : ELYSIUM


"I promise you, one day I'll take you to Elysium." - Max

Money can’t buy happiness... huh? Yakin? Sutradara asal Afrika Selatan, Neill Blomkamp, yang menggebrak dunia melalui debut penyutradaraan film panjangnya, District 9, tampaknya tak sepenuhnya setuju dengan Anda. Dia jelas meyakini, uang mampu membeli apapun yang kita butuhkan – termasuk kebahagiaan – setidaknya di sekitar 100 tahun mendatang. Tanpa adanya uang berlimpah, apa yang didapat tak lebih dari sekadar hidup penuh penderitaan dan kesengsaraan di bumi yang kian tak layak untuk dihuni manusia (dan akan dengan segera menjadi favorit Wall-E!) lengkap tanpa fasilitas kesehatan yang menunjang. Maka, satu-satunya pilihan hidup yang bisa Anda pilih adalah menjadi orang kaya bergelimang harta. Elysium yang menjadi garapan teranyar dari Blomkamp dimana kru pendukungnya masih dipenuhi oleh orang-orang yang sama dari District 9, mencoba untuk menyenggol isu seputar kesenjangan sosial yang kian lama kian tak bisa dimaafkan ini. Sekalipun tak lantas menjadi sekuat film perdananya, Elysium tergolong berhasil dalam menyatukan jalinan penceritaan yang mengikat penuh kritik sosial dengan gelaran aksi a la film musim panas yang hiruk pikuk. 

Blomkamp memboyong penonton ke tahun 2154 dimana bumi bukanlah tempat yang ideal bagi manusia untuk menjalani kehidupan; populasi meledak tak terkontrol, penyakit mewabah dimana-mana, kejahatan menjadi sesuatu yang lumrah, dan robot tak berhati bertindak sebagai penegak hukum. Bagi rakyat jelata, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali tinggal di bumi. Sementara mereka yang berduit, bisa merasakan nikmatnya hidup sebagai masyarakat Utopia di stasiun luar angkasa raksasa bernama Elysium. Tokoh utama dari film ini, Max (Matt Damon), telah mendambakan untuk menginjakkan kaki di rumput Elysium yang hijau sejak masih kanak-kanak. Tahun demi tahun berlalu, impiannya itu tak kunjung terwujud hingga sebuah kecelakaan di tempat kerja menimpanya. Terpampar radiasi mematikan, usia Max tidak akan mampu melampaui 5 hari. Tidak ada obat di bumi yang sanggup menyelamatkannya, hanya med-pod canggih di Elysium yang menjadi jalan keluarnya. Akan tetapi, dengan statusnya yang tidak lebih dari ‘penduduk bumi melarat’, maka tentu bukanlah perkara mudah untuk bisa menjangkau tempat dengan penjagaan paling ketat di seluruh jagat raya tersebut. 

Apabila disandingkan dengan District 9, maka jelas Elysium bukanlah apa-apa dan jelas merupakan sebuah penurunan bagi si pembuat film. Namun jika yang dijadikan sebagai patokan adalah film-film musim panas yang rilis selama 3 bulan terakhir ini, well... saya harus katakan, ini adalah salah satu yang terunggul. Beberapa rekan saya boleh saja menyebut ini kelewat cerewet, pretensius, sekaligus ambisius, namun dalam pandangan saya Neill Blomkamp berhasil menciptakan sebuah sajian yang tidak hanya mengikat, namun juga mengesankan, mengasyikkan, dan menyentil. Berbicara mengenai mengasyikkan, maka itu bisa mencakup dua hal; pertama, dalam kaitannya dengan efek khusus dan tampilan visual yang semakin tergarap baik (sekali lagi, uang berbicara) dimana bagi mereka yang mengharapkan sajian musim panas yang bombastis (penuh suara desingan peluru, ledakan, dan kejar mengejar yang seru) akan tersenyum puas. Kedua, dari sisi penceritaan, Blomkamp kembali menggelar kritik sosial yang menarik untuk disimak dimana sekali ini memiliki tataran yang lebih luas; kesenjangan sosial, pendidikan yang tak merata, pelayanan kesehatan yang buruk, hingga pemerintah yang korup. Blomkamp memberi gambaran yang meyakinkan (serta masuk akal) mengenai kondisi bumi yang karut marut di 140 tahun mendatang tatkala manusia menjadi kelewat egois serta serakah dan pemerintah kian bersikap masa bodoh dengan nasib wong cilik. 

Hanya saja, Neill Blomkamp cenderung lupa untuk menciptakan karakterisasi yang kuat dan meyakinkan. Dampak dari tak tergalinya penokohan yang lebih mendalam bagi film adalah jajaran pemain yang tidak memiliki ruang untuk bersinar lebih benderang dan berkembang lebih jauh yang mana turut berpotensi dalam mengoyak emosi penonton. Matt Damon dan Sharlto Copley (memerankan agen pemerintah yang memburu Max) memang tidak buruk, bahkan berhasil tampil menawan khususnya Copley yang menonjol sebagai villain yang luar biasa menjengkelkan. Namun para pendukung sekelas Jodie Foster, William Fichtner, Diego Luna, dan Alice Braga tidak memeroleh porsi yang memadai. Kehadiran mereka nyaris tak penting (siapapun bisa memerankan karakter mereka) dan mudah dilupakan. Lumayan menyakitkan, sebenarnya. Beruntung, Elysium terangkat berkat gelaran aksi dengan pameran efek khusus serta teknologi yang megah, jalinan kisah yang cenderung sentimentil mengharu biru, banyaknya topik pembahasan yang terkandung bagi mereka yang menggemari isu seputar sosial politik, hingga laju pengisahan yang bergerak secara cepat dan gesit.

Exceeds Expectations


Post a Comment for "REVIEW : ELYSIUM"