REVIEW : 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA
"Hei, masalah besar. Aku punya Tuhan yang lebih besar!" - Ayse
Beberapa rekan yang ulasan filmnya menjadi inspirasi saya menulis di akun jejaring sosial pribadi mereka tentang 99 Cahaya di Langit Eropa yang bila ditarik sebuah kesimpulan akan berbunyi: “Merentang panjang melampaui 100 menit, 99 Cahaya di Langit Eropa terasa begitu sunyi, berjalan nyaris datar, sungguh menjemukan, dan nyaris tidak ada kandungan isinya – alias hampa.” Saya sepakat dengan pernyataan itu, yah... setidaknya untuk dua yang pertama. Tidak bisa dipungkiri, alur penceritaan dari film yang adaptasi dari novel laris bertajuk sama yang direka oleh Hanum Salsabiela Rais ini memang tidak bergerak gesit atau melaju secepat kilat melainkan setapak demi setapak, memungkinkan penonton untuk mengenal setiap tokoh utama lebih personal. Namun jika menyebutnya sebagai menjemukan dan hampa, maaf beribu maaf, saya sama sekali tidak sependapat. 99 Cahaya di Langit Eropa adalah satu dari segelintir film reliji yang celotehan ceriwisnya masih bisa saya terima sekaligus mampu merasuk hingga ke dalam kalbu.
Dalam 99 Cahaya di Langit Eropa, penonton diperkenalkan kepada sepasang suami istri asal Indonesia, Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) dan Hanum Salsabiela (Acha Septriasa), yang tinggal di Wina, Austria. Rangga tengah menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi untuk mengejar gelar doktor, sementara Hanum... yah, hanya seorang istri berbakti yang menemani sang suami belajar di negeri orang. Selama tiga bulan lamanya hanya menjalani aktifitas yang tidak memiliki arti, Hanum akhirnya memutuskan untuk mengikuti kursus Bahasa Jerman – menguasai Bahasa Jerman adalah syarat mutlak yang kudu dipenuhi apabila ingin bertahan hidup di Austria. Dalam kursus ini, Hanum berkenalan dengan Fatma Pasha (Raline Shah), seorang wanita berhijab asal Turki, yang lantas menjadi sahabatnya. Melalui Fatma dan putrinya, Ayse (Geccha Tawara), Hanum tidak hanya memeroleh informasi berharga seputar jejak-jejak Islam di Eropa, tetapi juga belajar banyak hal yang mampu mengubah hidupnya dan mempertebal imannya.
99 Cahaya di Langit Eropa memang bukan film reliji terbaik yang pernah dibuat di negeri ini. Bukan pula tontonan paling mencerahkan yang sanggup menggetarkan hati. Dan, bukan pula sebuah hidangan yang akan dengan begitu mudah untuk dicintai serta dipuja oleh banyak orang. Akan tetapi, sebagai sebuah film drama reliji, 99 Cahaya di Langit Eropa telah menjalankan fungsinya dengan sangat baik. Kesan ceriwis dan menceramahi memang tak terhindarkan di beberapa bagian, namun itu tidak melampaui segala batasan yang ada sehingga dapat termaafkan. Lagipula, segala penyampaian yang dalam skrip digagas oleh trio Alim Sudio, Hanum Salsabiela Rais, dan Rangga Almahendra, berhasil mengena di hati, menampar dengan lembut, dan mengajak penonton untuk berkontemplasi. Mereka menyajikan deretan konflik yang (sekilas) tampak remeh, ringan, dan tidak berarti, namun sesungguhnya jika dilihat lebih mendalam bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan sebelah mata. Pergolakan batin yang dilalui oleh Rangga tatkala dihadapkan pada pilihan dilematis, ujian yang maha penting atau Sholat Jumat, jelas tidak main-main. Apabila saya berada di posisi Rangga, akankah saya akan mengikuti pilihan nekat yang dibuat oleh Rangga atau justru sahabat Rangga yang Muslim, Khan (Alex Abbad)?
Diterjemahkan ke dalam bahasa gambar dengan begitu dramatis oleh Guntur Soeharjanto dan ditingkahi penampilan yang meyakinkan dari Abimana Aryasatya – dimana guratan ekspresi penyesalan, kesedihan, dan ketidakberdayaan tersalurkan dengan apik – menjadikan adegan ini sebagai highlight dalam 99 Cahaya di Langit Eropa. Selain ini, letupan konflik dalam film tak pernah benar-benar menghentak sekalipun masih terbilang menggigit. Penyampaiannya cenderung lebih ringan dan santai (kecuali untuk apa yang terhidang menjelang ending) dimana percikannya timbul setiap Hanum berjalan-jalan bersama Fatma, Ayse, dan Marion (Dewi Sandra) – berkaitan dengan penemuan jati diri, diskriminasi kaum minoritas, hingga sejarah Islam – atau saat Rangga bercakap-cakap dengan sahabatnya yang non-Muslim, Stefan (Nino Fernandez), yang menggelontorkan pertanyaan-pertanyaan seputar Islam yang sejatinya begitu mendasar (“kenapa sih Tuhan kamu suka menyiksa umatnya?”, “apa tujuan dari puasa?”, sampai “bagaimana kalau ternyata Tuhan kamu tidak ada?”) namun disadari atau tidak, pertanyaan-pertanyaan ini juga terkadang sering kita tanyakan. Inilah mengapa saya tidak menganggap 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai sebuah sajian yang menjemukan dan hampa karena masih ada sesuatu yang bisa dipetik, didiskusikan, dan dijadikan sebagai bahan perenungan.
Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi mengenai sisi visualnya, pemandangan alam dan sudut-sudut kota di Eropa yang cantik telah terekam dengan semestinya. Yang justru perlu untuk dipertanyakan adalah perihal performa jajaran pemainnya. Memuaskan kah? Harus saya katakan, Ini yang menjadi salah satu letak kekuatan dari film. Kecemerlangan Abimana Aryasatya dalam memerankan Rangga Almahendra telah cukup saya jlentrehkan di paragraf sebelumnya, sementara para pemain lain seperti Acha Septriasa, Nino Fernandez, Alex Abbad, Marissa Nasution, Dewi Sandra, hingga Geccha Tawara pun bermain dengan kuat. Chemistry yang terjalin diantara para tokoh pun terasa meyakinkan. Namun dari sekian banyak pemain yang hilir mudik, saya paling terkesan (sekaligus terkejut!) dengan akting dari Raline Shah. Tidak menemukan letak istimewanya aktris yang satu ini di 5 Cm – dan cenderung meremehkannya – performa dari Raline malah justru yang paling mencengkram, membius, dan memesona di sini. Tanpa ada kesan dibuat-buat, sifat keibuannya serta keanggunannya begitu memancar. Di tangannya, sosok Fatma Pasha terlihat sangat mengagumkan yang akan membuat pria manapun terpana, sulit berkata-kata dan pada akhirnya, bertekuk lutut. Betul-betul tipe istri idaman.
Exceeds Expectations
Post a Comment for "REVIEW : 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA"