Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

REVIEW : LASKAR PELANGI SEKUEL 2: EDENSOR


"Gantungkan mimpi-mimpimu setinggi langit biar Tuhan yang mememuk mimpimu agar menjadi kenyataan."

Saya tidak ingin ulasan ini terdengar sebagai sesuatu yang kejam, tidak berperasaan, sinis, menyakitkan, dan menjengkelkan, tetapi maaf beribu maaf, saya harus mengatakan dengan jujur kepada Anda bahwa Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor adalah salah satu film yang paling membosankan yang saya tonton sepanjang tahun 2013. Tidak seperti Riri Riza dan Mira Lesmana yang mentransfigurasi dua novel rekaan Andrea Hirata, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, dengan begitu lancar ke dalam bahasa gambar dimana mereka mampu menyulap ribuan kata perihal perjuangan dalam menggapai mimpi yang sejatinya sederhana menjadi sebuah tontonan yang padat berisi, menggugah emosi, dan inspiratif namun tak pernah menjadi kelewat ceriwis, maka Benni Setiawan yang menggantikan tugas duo maut tersebut seolah begitu kesulitan untuk menerjemahkan apa yang coba untuk disampaikan oleh Andrea Hirata melalui tulisan-tulisannya dalam Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor

Di dalam Laskar Pelangi Sekuel 2: EdensorUgh, saya begitu membenci judul ini maka untuk selanjutnya saya hapus saja kata ‘sekuel’ – perjuangan dari dua tokoh utama di tetralogi Laskar Pelangi, Ikal (Lukman Sardi) dan Arai (Abimana Aryasatya), memasuki babak baru. Beasiswa menempuh pendidikan S2 di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, memang dengan sukses mereka genggam, namun ini tidak berarti mereka akan melewati hari demi hari di Prancis dengan mulus. Berasal dari keluarga tidak mampu yang kondisi finansial berada di ujung tanduk lantaran Ayah Ikal (Mathias Muchus) kehilangan pekerjaan, maka baik Ikal dan Arai pun kudu mencari pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup. Belum lagi adanya tantangan dalam menguasai Bahasa Prancis yang memiliki struktur rumit dan beradaptasi dengan gaya hidup yang tentunya bertolak belakang dari apa yang mereka jalani selama di Indonesia. Hubungan antara Ikal dan Arai pun didera ujian di sini tatkala Ikal kehilangan fokusnya terhadap pendidikan karena kedekatannya dengan Katya (Astrid Roos) dan obsesinya untuk menemukan cinta pertamanya, A Ling (Shalvynne Chang). 

Dalam menjabarkan Laskar Pelangi 2: Edensor, Benni Setiawan mencoba mengambil pendekatan yang berbeda dari apa yang ditempuh oleh Riri Riza dengan lebih mengedepankan sisi komedi dalam penceritaan. Bukan sesuatu yang salah, sebenarnya. Bahkan jika ditangani secara tepat, ini mampu memberi warna tersendiri dalam trilogi film Laskar Pelangi. Hanya saja, permasalahan yang dihadapi oleh si pembuat film (yang turut menulis skripnya) adalah kelewat fokus dalam menguliti sesuatu yang sejatinya kurang penting dan menghempaskan begitu saja gagasan dari Andrea Hirata seputar perjuangan dalam mengejar mimpi di negeri orang. Humor yang ditonjolkan di sini beberapa kali memang bekerja dan cukup menyegarkan, namun saking seringnya bercanda, Benni malah lupa tujuan awal: bercerita. Lupa pula untuk memberikan kedalaman emosi dalam penceritaan. Hasilnya, film tak lebih dari sekadar senda gurau belaka. 

Selama menyaksikan film ini saya bertanya-tanya, “apakah yang ingin disampaikan oleh film ini?.” Perjuangan dan lika liku kehidupan Ikal dan Arai untuk mewujudkan mimpi hampir tak tampak, nyaris tergerus habis oleh porsi kisah asmara penuh dilema dari Ikal – yang sejatinya merupakan persoalan yang remeh. Sayangnya, persoalan remeh ini pun tak diberi suntikkan nyawa dan emosi oleh si pembuat film sehingga yah... apakah ada yang membawa selimut dan bantal ke bioskop? Saya butuh tidur. Film berceloteh kelewat ringan, terlalu santai, tak ada letupan-letupan yang memberi semangat untuk menonton, tidak fokus dalam memilih pijakan penceritaan, dan anti klimaks. Jangan tanyakan kepada saya perihal klimaks karena saya sama sekali tidak menemukannya di sini. Diselesaikan begitu saja sehingga tanpa seorang pun menyadari dimana letak klimaks dan resolusi yang sebetulnya dari film ini. Terasa sungguh datar, hambar, dan dingin. 

Jika ada yang membuat Laskar Pelangi 2: Edensor terhindar dari predikat ‘terburuk’ atau tingkatan sedikit lebih terhormat, buruk, maka itu adalah performa dari departemen akting dan deretan tembang yang mengiringi berlalunya durasi. Di tengah terpaan badai naskah dan pengarahan yang berpotensi menghancurkan, Lukman Sardi (meski tak dapat disangkal, dia sudah terlihat berumur untuk memerankan Ikal) dan Abimana Aryasatya masih mampu memberi permainan yang manis melalui penyelaman terhadap karakter dengan baik dan ikatan yang dapat dipercaya. Para pemain pendukung pun tak mengecewakan, khususnya Astrid Roos yang senantiasa mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya. Lalu, film pun memiliki isian musik dari Andhika Triyadi yang cantik serta alunan tembang "Negeri Laskar Pelangi" bernuansa Melayu yang mudah untuk membuat penonton ikut bergoyang yang ditempatkan dalam posisi yang sempurna. Kombinasi dari keduanya ini, setidaknya membuat Laskar Pelangi 2: Edensor masih layak untuk disimak di layar lebar meski untuk bisa menikmatinya hingga credit title merayap Anda harus dalam keadaan benar-benar segar bugar atau jika tidak, yah... (maaf) tertidur manis.

Poor



Post a Comment for "REVIEW : LASKAR PELANGI SEKUEL 2: EDENSOR"